KATA PENGANTAR
Puji dan
Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini membahas tentang “ AL – U’RF “
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya
itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat
balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Margamulya,
September 2013
Penyusun
Kelompok 2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
...........................................................................................................
KATA PENGANTAR
.........................................................................................................
DAFTAR ISI
.......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
....................................................................................................
A. Latar Belakang………….
.......................................................................................
.
B. Rumusan Masalah
....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................
1. Pengertian U’rf.............................................
...........................................................
2. Macam-macam U’rf..................................................................................................
3. Dasar Hukum
U’rf………………………………………………………………………
BAB III PENUTUP
...........................................................................................................
A. Kesimpulan
.............................................................................................................
B. Saran-saran
………………………………………………………………………….....
DAFTAR PUSTAKA
..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar bekakang
Dalam menetapkan hukum yang tidak
ada nasnya dalam Al-quran dan As-sunah
para ahli mengerahkan segenap kemampuan nalarnya untuk menetapkan suatu
hukum yang disebut ijtihad. Dalam berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara
atau metode dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode ijtihad hasil rumusan
mujtahid. Diantaranya : Istihsan, Istishab, Mashlahah Mursalah, `Urf,
Sadduzara`i, Mazhab Sahabat dan Syar`u man Qablana. Dari sekian banyak
metode atau cara ijtihad yang dikemukakan tidak semunya disepakati penggunaanya
oleh ulama, dalam berijtihad seringkali hasil ijtihad mereka berbeda dengan
yang lainnya. Perbedaan tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk
pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.
Dengan metode-metode tersebut para
ulama banyak mengemukakan kedah-kaedah ushul untuk mempermudah menemukan hukum
yang tidak ada nasnya dalam alquran maupun hadist.
1.2. Batasan Masalah
Dari uraian singkat
tersebut diatas jelas bahwa terdapat banyak cara atau metode yang digunakan
para mujtahid untuk berijtihad di antaranya yaitu, Istihsan, Istishab,
Mashlahah Mursalah, `Urf, Sadduzara`i, Mazhab Sahabat dan Syar`u man Qablana.
Namun dalam hal ini fokus pembahasan hanya sekitar Istishab.
1.3. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah
yang dapat diambil dari permasalahan Istishab yaitu :
-
Apa pengertian Istishab ?
-
Bagaimana kehujjahan Istishab ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Istishhab
Istishhab menurut bahasa berasdal
dari kata subhah yang berarti menemani atau menyertai. Namun sebagian
buku ushul menyatakan Istishhab menurut bahasa sebagai berikut :
1.
Ilmu ushul
fiqih oleh Bapak Prof. Dr. H. Rahmat Syafi’i, M.A “Mengakui adanya hubungan
perkawinan”
2.
Ushul fiqih
oleh Bapak Prof. Mohammad Abu Zahra “ Persahabatan dan kelanggenan
persahabatan”[1][1]
Sedangkan
menurut istilah Istishhab adalah Hukum terhadap Sesutu dengan keadaan yang ada
sebelumnya, sampai adanya dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau menjadikan
hukaum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai
ada dalil muntuk mengubahnaya.
Dari pengertian diatas, mungkin
susah dipahami, sehingga memerlukan contoh yang kongkrit, seorang mahasiswa
misalnya menyandang predikat mahasiswa apabila dia diketahui memasuki bangku
kuliah, predikat tetap melekat padanya berdasrkan istishab sampai ada dalil
yang menunjukkan adanya perubahan status, untuk mendapatkan predikat mahasiswa
tersebut, tidak perlu ditetapkan setiap tahun atau setiap bulan.
Istishab merupakan salah satu hal
yang menjadi peredebatan para ulama, didalam pemberlakuan menjadi sumber hukum
dalam mengistimbatkan hukum. Memang secara akal sehat dengan mudah dapat
mendukung penggunaan Istishab, sebagai contoh : “ Apabila si Fulan jelas
menjadi suami resmi dari seorang perempuan, maka dengan sendirinya berarti
antara kedua orang terjalin ikatan perkawinan, sampai terjadi perceraian,
Istishhab bisa diterima sebagai sumber hukum dilihat dari segi syara’ yaitu
ternyata berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara disimpulkan bahwa
hukum-hukum itu tetap berlaku sesuai dengan dalil yang ada sampai ada dalil
yang lain mengubahnya. Anggur memabukka, berdasarkan ketetapan dan syara’
adalah minuman haram kecuali apabilah telah berubah sifatnya, yakni iskar, baik
dicampuran atau berubah dengan sendirinya menjadi cuka.
Dengan Istishab ulama banyak
menetapkan kaeadah ushul, yang dijadikan sebagai pertimbangan dalam menetapkan
sesuatu hukum. Adapun macam-macam istishab diklasifikasikan memenjadi dua macam
yaitu :
pertama, istishab
yang melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal,
pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Segala macam makanan dan
minuman yang tidak terdapat dalil syara’ tentang keharamannya, adalah mubah
atau halal, sebab Allah menciptakan segala sesuatu dibumi ini agar dapat diambil
mamfaatnya oleh manusia. Hal ini sesuai dengan kaedah ushul fiqih yang dibangun
oleh ulama :
ﺍﻥﺍﻻﺼﻝﻓﻰﺍﻻﺸﻴﺎﺀﺍﻻﺒﺎﺤﺔ
Artinya : Sesugguhnya asal mula dalam segala sesuatu
adalah kebolehan.[3][3]
Dan ini juga sesuai dengan Firman Allah dalam Al-qu’an
dalam surah Al-baqarah
ﻫﻭﺍﻠﺫﻯﺨﻠﻕﻠﻜﻡﻤﺎﻔﻰﺍﻻﺭﺽﺠﻤﻴﻌﺎ
Artinya
: “Dialah Allah Yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu..”(al-baqarah :29)
Kedua, Istishab
yang melangsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak
ada dalil yang lain yang mengubahnya, misal, jika seorang telah berwudhu,
kemudian ragu –ragu apakah wudhunya telah batal atau belum maka ia dihukumi
belum batal, dengan dasar keadaan wudhu sebelumnya yang diyakini. Adapun kaedah
yang dibangun oleh ulama yang berhubungan dengan hal ini yaitu :
ﺍﻠﻴﻗﻴﻥﻻﻴﺯﺍﻝﺒﺎﻠﺸﻙ
Artinya :
Sesuatu yang meyakinkan tidak hilan karena keraguan.
Walaupu ulama yang lain menberikan
tanggapan yang berbeda pula mengenai macam-macam istishab, mereka ada yang
membagi istishab kedalam tiga macam, namun hal ini tidak menjadi persoalan
karena semua macam-macam istishab tersebut yang diungkapkan oleh para ulam
memiliki makna yang sama.
2.2. Kehujjahan Al-Istishhab
Mengenai
kehujjahan Istishhab para ulama berbeda pendapat ada yang menerima al-istishhab
dan ada yang menolak al-istishhab. Argumen ulama yang menerima Istishhab
adalah bahwa dalam muamalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat
yang sudah berlaku di antara mereka, ia dapat dijadikan dasar menentukan hokum
tersebut selama tidak ada dalil yang mengubahnya, hal ini sesuai dengan
Al-quran surah Al-barah ayat 29.
Ulama yang
menerima al-istishhab dapat dibedakan menjadi tiga :
a.
Jumhur ulama
yang dipelopori oleh imam malik, sebagian ulama syafi’iah dan hanafiah
berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan hujjah ketika tidak ada nas atau
dalil dari Al-quaran,hadist, ijmak,qias. hukum yang ada tetap berlaku sepanjang
belum ada dalil yang mengubahnya
b.
Sebagian
ulama Hanafi’ah dan Syafi’ah.berpendapat bahwa istishhab bukankah dalil untuk
menentukan hukum yang sekarang, ia sekedar mengetahui hukum masa lalu.
Sedangkan untuyk menentukan hukumnya sekarang ini, ia memerlukan dalil.
c.
Jumhur ulama
hanafiah berpendapat bahwa istishhab adalah untuk menetapkan (dirinya sendiri)
dan bukan untuk menetapkan yang lain.
Sedangkan argument ulama
yang menolaknya adalah bahwa penentuan halal, haram, dan sucinya sesuatu
memerlukan dalil yang dalil itu tidak dapat kecuali dari “syari’’. Dalil-dalil
syari tercakup dalam nas Alquran dan Sunnah, ijmak, dan Qias. Dan istishhab
tidak masuk dalil syari.
Istishhab
merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Dan para ahli ilmu ushul
figih berkata seungguhnya istishhab merupakn akhir tempat beredarnya fatwa. Ia
adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya,
sepanjang tidak ada dalil yang mengubahnya.
Istishhab
tidak menetapkan sesuatu hukum baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya
melangsungkan berlakunya hukum akal tentang kebolehan (Ibahah) atau bebas asal
(bar’at al-ashaliyah) atau melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas
dasar terpenuhinya sebab terjadinya hukum. Oleh karena itu istishab hanya
menjadi hujjah untuk melangsungkan hokum yang telah ada, tidak untuk menetapkan
hukum baru yang sebelumnya belum ada.[4][4]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Istishhab
adalah Hukum terhadap Sesutu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya
dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau menjadikan hukaum yang tetap di masa
yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai ada dalil muntuk
mengubahnaya.
Istishhab ada dua macam yaitu : pertama, istishhab
yang melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal,
pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Segala macam makanan dan
minuman yang tidak terdapat dalil syara’ tentang keharamannya, adalah mubah
atau halal,sesuai dengan kaedah ushul.
ﺍﻥﺍﻻﺼﻝﻓﻰﺍﻻﺸﻴﺎﺀﺍﻻﺒﺎﺤﺔ
Artinya : Sesugguhnya asal
mula dalam segala sesuatu adalah kebolehan.
Kedua, Istishhab yang melangsungkan berlakunya hukum syara’
berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak ada dalil yang lain yang mengubahnya
Istishhab tidak menetapkan sesuatu hukum
baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya melangsungkan berlakunya hukum akal tentang
kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at al-ashaliyah) atau melangsungkan hukum
syara’ tentang sesuatu atas dasar terpenuhinya sebab terjadinya hukum.
3.2.
Saran-saran
DAFTAR
PUSTAKA
~ Abu Zahra Muhammad ,Prof.,2002, Ushul Fiqh,
Jakarta, Pustaka Firdaus,
~ Khallaf,Abdul Wahhab ,Prof.994, Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang, Dina Utama,
~ Mubarok, Jain, 2002, Metodologi Ijtihad Hukum Islam,
Yogyakarta, UII Press,
~ Rahmat,Jalaluddin, 1994, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung, Mizan,
[1][1] Prof.
Muhammad Abu Zahra,2002, Ushul Fiqh, Cet VII, Jakarta, Pustaka Firdaus,
[3] Jain Mubarok, 2002, Metodologi
Ijtihad Hukum Islam, Cet I, Yogyakarta, UII Press,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar